Cerpen Ahmad Wayang : Dalam Rahim Sayuri

4

Oleh Ahmad Wayang

Sayuri bersumpah demi anak yang dikandung dalam rahimnya. Ia tak pernah bercerita kepada siapapun perihal rasa cintanya terhadap Gading, mantan pacarnya. Kecuali kepada pembaca. Sehabis menyiapkan makanan itu, ia memilih bermalas-malasan sejenak di sofa. Menunggu Bowo suaminya, pulang dari kerja. Sayuri menyalakan televisi. Ia memilih saluran berita. Pikirnya, siapa tahu bisa melihat Gading dalam kerumunan wartawan yang tengah mewawancarai politikus berpeci itu.

Tak berapa lama Bowo datang. Tapi dengan sikap yang aneh. Bowo menolak kecupan di kening. Sayuri lekas menangkap gelagat lain. Dalam benaknya sempat terbesit (mungkin juga menuding) bahwa kalian, para pembaca, adalah biang keladi atas semua awal petaka ini.

Sayuri tahu, pasti ada seseorang yang membocorkan dan memberitahukan semuanya, padahal ini adalah rahasia yang sudah ia simpan sejak lama.

Ia tak mungkin bisa menuduh Gading sebagai orang yang membocorkan semua ini. Sayuri tahu, Gading bukan tipikal seperti itu. Lagi pula Gading tak tahu menahu soal ini. Pasti ada di antara pembaca yang mengatakan hal ini pada Bowo. Sayuri yakin akan hal itu. Sebab, hanya pada pembacalah, Sayuri pernah menitipkan cerita ini. Dan hanya pada pembaca juga ia memercayainya. Bahwa rahasia rasa cintanya terhadap Gading, akan aman ketika hanya pada pembaca dititipkan semuanya.

Kelak kalian akan tahu, Bowo sosok yang ringan tangan saat mengetahui semua cerita ini, dan Sayuri tempat semua pelampiasan amarah Bowo. Saat kalian berkedip—sehabis membaca paragraf kedua tadi—tangan Bowo sudah mendarat di pipi kanan Sayuri. Ya, dia menamparnya barusan. Sayuri hanya menagis. Seperti malam-malam kemarin. Tapi kejadian kali ini tidak seperti yang dibayangkan Sayuri. Ia ditarik paksa ke dalam kamar. Terjatuh Sayuri pada lantai, masih dalam balutan tangisan terisak. Bowo tetap tak peduli. Kini kepala Sayuri bagai seonggok sampah yang menjijikan. Diinjaknya muka Sayuri penuh murka oleh Bowo dengan kaki kanannya yang masih menggunakan sepatu pantofel hitam.

“Kamu masih mencintainya, HAH!? Babi! Dasar perempuan sinting!” percikan ludah Bowo berjatuhan tepat di wajah Sayuri. Keringat pun perlahan membanjiri dahi Bowo. Sementara air mata tangis Sayuri perlahan mengalir di keramik putih itu.

Sayuri meronta, tapi tak kuasa. Injakkan kaki Bowo malah semakin kuat ia rasa. Sesungghunya ini murka paling puncak yang pernah diterima Sayuri. Barangkali ini akhir dari kemarahan Bowo yang paling paripurna? Ah, siapa yang tahu dengan perangai lelaki satu ini.

Sambil menagis sedu-sedan, Sayuri masih mencoba mengingat-ingat siapa yang sebenarnya membocorkan rahasia ini? Siapa yang sesungguhnya membuat Bowo—suami yang dinikahinya setahun lalu dan juga calon ayah bagi jabang bayi dalam kandungan Sayuri, yang masuk usia lima bulan—tahu soal kisah asmaranya dengan Bowo. Padahal hal itu tak pernah dia tuliskan dan ceritakan pada teman kepercayaannya. Kecuali kepada kalian para pembaca, karena Sayuri yakin, hanya pembacalah yang bisa menyimpan rahasianya itu dengan baik. Sekali lagi hanya pada pembaca, perasaan yang tersembunyi dalam hati Sayuri diketahui oleh mereka. Sebab jarak pembaca dengan Bowo dan orang-orang yang ada dalam cerita ini dipisahkan oleh sekat antara cerita fiksi dan cerita realita. Jadi Sayuri yakin betul, antara keduanya pastilah tidak akan mememui titik temu.

***

Jauh sebelum memutuskan menikah dengan Bowo, Sayuri juga menjadikan Gading sebagai pacar keduanya. Ia menjalani masa pacaran dengan keduanya secara sembunyi-sembunyi. Tentu Bowo lebih dulu ada dalam hati Sayuri. Tapi selama lima tahun mengenal Bowo luar dan dalam, masih saja Sayuri menemukan ruang rahasia yang tak bisa disusuri Sayuri.

Lain halnya dengan Gading. Dua tahun sudah hubungan mereka, ia tahu siapa Gading dan siapa di balik Gading sesugguhnya. Ada rasa nyaman bila dekat dengan Gading. Dan Gading seperti jawaban dalam tiap mimpi dan harapannya untuk bisa dipertemukan dengan seseorang yang memiliki hobi serupa: perajut kata.

Sifat posesif Bowo selama pacaran dengan Sayuri selalu coba diserap dan dijadikan kesabaran bagi Sayuri. Selama lima tahun pacaran itu, lebih dari dua ratus kali Bowo membentaknya dan nyaris merusak barang apa saja milik Sayuri, jika sedang marah karena cemburu. Tiap satu hari dalam semingu, kata-kata kebun binatang selalu diabsen Bowo bahkan sering disebutkan langsung di depan wajah Sayuri. Tetapi cinta yang menyabarkan Sayuri untuk sekali lagi bertahan dengan Bowo.

Antara Bowo dan Gading sangat berbeda sikap. Gading cenderung ramah, selalu sabar menghadapi tingkah laku dan kemauan Sayuri. Diperlakukannya Sayuri seperti benar-benar istrinya. Gading selalu akan mengalah bila terjadi pertengkaran. Gading selalu bisa merayu  Sayuri dengan kata rindu dan seuntai puisi. Gading selalu memberikan apapun sebelum diminta kepada Sayuri.

“Aku menghormatimu karena kau perempuan, seperti aku menghormati ibuku sendiri. Sebab segala sesuatu bersumber dari inspirasi perempuan,” kata Gading suatu kali gombal. Tapi Sayuri tahu, itu yang dijadikannya sebagai prinsip berpacaran Gading.

Maka Sayuri (untuk kesekian kalinya) memutuskan berpisah dengan Bowo. Layaknya remaja lainnya, permintaan putus Sayuri tak begitu dianggapnya serius oleh Bowo. Saat itu, Sayuri menerima cinta Gading. Dan hari-harinya lebih banyak dihabiskan bersama Gading.

“Jangan pernah berani meninggalkanku, walau sejangkal. Janji?” pinta Sayuri kepada Gading suatu malam di hari jadiannya.

“Aku bersumpah demi ibuku, aku akan menghajar orang-orang yang berani membuat Sayuriku bersedih dan menagis. Kecuali Mama dan Papa,” kata Gading. Dan Sayuri menghadiahniya sebuah kecupan.

“Bakal ada seseorang yang tidak akan senang dengan hubungan kita ini,” Sayuri merajuk.

“Bowo maksudnya?”

Sayuri mengagguk.

“Aku akan meminta pada Mama-Papa, agar kita lekas dinikahkan,” Gading sambil menunjuk foto Mama-Papa Sayuri yang terpasang di atas tembok ruang tamu.

Sayuri memukul pelan bahu Gading peunuh manja. Sejenak Sayuri melamun dan menelan ludah. Sedikitnya ia tahu siapa Bowo. Dan semua sudah ia ceritakan kepada Gading, bahwa Bowo tidak akan pernah melepaskan Sayuri dan mempunyai niat yang sama: ingin menikahi Sayuri.

Tanpa diundang, tiba-tiba Bowo datang lengkap dengan amarah yang sudah menyala. Sementara Gading selalu bisa menguasai emosinya dan mencoba mengolah emosi lawan, untuk dijadikannya kekuatan, kalau-kalau diperlukan penyerangan. Gading membaca gerak-gerik Bowo, lawannya. Maka Gading santai saja ketika Bowo sudah lebih dulu mengertaknya dengan makian yang bisa diterjemahkan: jangan menggu kekasih orang.

Gading tersenyum, mengatakan pelan, seharusnya malu datang tanpa diundang dan tanpa bukti langsung menduduh orang sembarangan. Beberapa bulan lalu memang Sayuri masih menjadi pacarmu. Tapi terhitung detik itu juga, kini Sayuri tidak lagi sudi dekat-dekat dengan lelaki kasar sepertimu.

Lelaki memang tak terbiasa berterngkar lewat dialog.

Bowo sudah bernafsu menyarangkan bogemnya pada Gading. Tapi Gading sejak tadi sudah memasang kuda-kudanya. Gading melengos ketika Bowo menyerangnya. Mereka saling pandang dan pergumulan terjadi dengan singkat. Kegaduhan pecah malam itu. Berkali-kali Sayuri mencoba melerai mereka, tapi tak bisa. Dan kegaduhan baru berhenti ketika Mama-Papa Sayuri mengetahui. Keduanya dapat hadiah tamparan dari Papa Sayuri. Dan keduanya diusir dari rumah. Tetapi Mama sempat mendamaikan keduanya.

“Sesungguhnya Mama tidak ingin ikut campur pada urusan kalian. Keputusan tetap ada pada Sayuri. Tapi yang Mama tahu, Bowo yang lebih dulu. Dan dia sudah mengutarakan keinginanya menikahi Sayuri tahun depan,” Mama bicara sesudah semuanya reda.

“Mah!?” Sayuri kaget.

Lebih kaget lagi Gading. Tapi dia mencoba mencerna semua perkataan Mama dan mencoba meresapi pertanda-pertanda yang datang akhir-akhir ini.

“Itu terserah Nak Bowo, mau memilih tanggal pernikahannya kapan. Dan soal Nak Bowo yang sekarang belum punya pekerjaan, biar itu jadi urusan Nak Bowo nanti,” sambung Mama.

Gading menatap mata Mama dan bergeser memandang Sayuri. Pada mata Mama, Gading tak mungkin menemukan kebohongan. Saat itu juga ia tahu apa yang harus dikatakannya.

“Aku menerima semua keputusan Mama, Sayuri dan keputusan alam. Jika semesta berpihak padaku, aku percaya semesta akan mendukung dengan caranya,” saat itu juga Gading pamit.

Dari pertemuan itu rupanya menjadi pertemuan terakhir bagi Gading dan Sayuri. Seketika Sayuri lanyap entah kemana. Tak ada pesan singkat lagi yang terkirim. Komunikasi mereka terputus. Barangkali alam sedang memberikan pelajaran pada Gading, begitu pikirnya.

Teman, kerabat semua tak ada yang bisa ditanyakan soal informasi di mana keberadaan Sayuri. Dua kali pernah Gading menemui Sayuri di rumahnya, tetapi selalu disembunyikan Mama entah di mana. Gading tak bertemu Sayuri dan pulang dengan perasaan luka.

Semingu kemudian surat undangan pernikahan antara Sayuri dan Bowo diterima Gading. Ia tak bisa berkata-kata. Pertanda itu rupanya sudah lengkap diterimanya. Dan alam barangkali sedang berpihak pada Bowo, bukan padanya. Barangkali Bowo adalah lelaki baik yang disiapkan alam, pikir Gading. Detik itu juga Gading berjanji pada diri sendiri tak bakal datang dan  menghubungi Sayuri lagi.

Tetapi apa yang dipikirkan Gading dengan apa yang dialami Sayuri, setelah beberapa bulan menjadi suami Bowo, adalah hal yang berlawanan. Doa-doa yang baik, selalu dilayangkan Gading untuk mantan kekasihnya itu. Tetapi Sayuri sering kali berdoa penuh tangis untuk penayadaran suaminya.

***

Malam itu, ketika kandungan kehamilan Sayuri semakin menua, setelah hampir setahun lebih tak berkomunikasi dan bertemu dengan Gading, rasa rindu tiba-tiba muncul. Rasa rindu itu menyeruak seketika, seperti rindu pada sepasang kekasih baru yang terpisah ratusan mil jaraknya. Jika ada hal nekat sepanjang hidup Sayuri, hanya ini yang pernah ia lalukan: menemui Gading di hari ulangtahunnya. Sayuri hanya sekadar ingin mengucapkan selamat dan jika dimungkinkan berniat mencium keningnya. Sayuri selalu berdoa, mudah-mudahan keinginannya ini tidak termasuk dosa.

Keinginan menemui Gading bukan keinginan semalam. Ini terwujud atas dasar yang kuat, belakang Sayuri selalu berhasil dibuat gelisah ketika melihat kerusuhan antar kampung di tempat tinggal Gading. Ada yang terbunuh dan ratusan warga lainnya terluka. Adakah Gading menjadi salah satu korban pada kerusuhan Kampung Pejaten itu? Atau suatu hari yang lain, Sayuri membaca sebuah koran, sebuah mobil truk menambark pembatas jalan dan menyeruduk sebuah warung. Itu adalah warung tempat biasa Gading nongkrong bersama teman-temannya. Sebab dua nama teman Gading ada dalam daftar orang yang meninggal dalam musibah naas itu.

Salah satu hal paling mendasar, kenapa Sayuri ingin menemui Gading, lantaran ia sudah muak dengan tingkah laku kasar suaminya. Bahkan, Sayuri pernah melihat dengan mata telanjangnya, suatu malam ada seorang perempuan keluar dari rumah, saat Sayuri tengah mampir di rumah orangtuanya.

“Aku menemui Gading bukan karena ingin membuatmu cemburu. Melainkan karena aku masih rindu dan sayang pada Gading. Belakangan aku telah meyesal telah berani menerima lamaranmu,” Sayuri membatin yang memang bagian ini, hanya ditunjukan dan dibiarkan dibaca oleh para pembacanya. Gading maupun Bowo tak akan pernah tahu tentang hal ini.

Sayuri benar-benar menemui rumah Gading. Sayuri harus menahan rasa kecewa ketika diketahui bahwa Gading sedang melakukan perjalanan jauh ke pulau Jawa.

“Lagipula Gading sudah tinggal di kota lain, sejak Sayuri memutuskan memilih orang lain,” kata Ibunda Gading. Sayuri hanya mengis sebentar di pangkuan orangtua Gading.

Pulang dari rumah Gading, Sayuri harus rela mendapati kenyataan. Bowo mengetahui sebuah rahasia, apa yang dulu pernah Sayuri ceritakan pada kalian, para pembaca.

Bowo lekas menjambak rambut panjang Sayuri dan menyeretnya ke kamar. “Aku tahu dari para pembaca tentang kelakuanmu selama ini. Rupanya kau masih menyimpan cinta dengan mantan pacarmu itu. Dasar Babi!” kata-katanya penuh amarah.

“Jangan-jangan anak yang sedang kau kandung ini juga adalah hasil hubungan gelapmu dengan si brengsek Gading itu!? Ngaku!?” bentak Bowo.

Berkali-kali Sayuri memohon ampun pada Bowo. Sayuri tak mau mengaku jika dirinya masih mencintai Gading. Tetapi ada salah satu pembaca yang membisikkan kepada Bowo bahwa, belum lama ini, Sayuri masih bertemu dengan Gading.

Berkali-kali Sayuri menangis dan berontak. Tapi Bowo tak peduli. Entah setan jenis apa yang sudah keburu merasuki raga Bowo. Dilihatnya perut Sayuri yang sudah membesar itu. Dalam pikiran Bowo, rahim Sayuri seperti balon saja. Anak dalam rahim Sayuri itu jangan-jangan bukan anaknya. Melainkan hasil hubungan gelap dengan Gading. Bowo mengikat tangan dan kaki Sayuri pada tiang-tiang ranjang besi dengan perut buncit yang sengaja dibusungkan ke arah langit. Jerit dan rintihan Sayuri seperti lagu yang menggema di telinga Bowo. Ia  tak peduli. Seketika Bowo menginjak perut Sayuri dengan keras dan bernafsu. Bowo melompat lagi, dan itu dilakukannya berkali-kali, hingga Sayuri tak sadarkan diri. Bowo selalu yakin, dalam rahim Sayuri itu hanya berisi angin, bukan janin. (*)

 

Ahmad Wayang, menulis cerpen dan puisi. Saat ini Wayang tinggal dan menetap di Kibin, Serang-Banten.

Soeh studio Jasa Pembuatan Website