Oleh Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Marbot Masjid Ats-Tsauroh Kota Serang
Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia menyalakan kembali api sumpah dan cita. Hari Sumpah Pemuda bukan sekadar kenangan sejarah, tetapi momentum untuk menakar sejauh mana semangat itu masih hidup di dada generasi muda.
Sumpah Pemuda adalah pernyataan ideologis yang lahir dari kesadaran: bahwa masa depan bangsa hanya dapat dijaga oleh mereka yang bersatu dalam iman, ilmu, dan cinta tanah air. Di setiap zaman, pemuda hadir bukan sekadar pewaris, tetapi pembaharu sejarah.
Rasulullah SAW bersabda, “Tujuh golongan yang mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya, salah satunya adalah pemuda yang hatinya terpaut dengan masjid.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa kemuliaan masa muda tidak diukur dari gemerlap dunia, melainkan dari kedekatannya dengan rumah Allah. Pemuda yang terpaut dengan masjid sejatinya terpaut dengan nilai ilahi—ia bekerja, belajar, dan berjuang dengan orientasi ibadah.
Masjid dalam sejarah Islam bukan hanya tempat sujud, tetapi juga pusat peradaban. Di sana Rasulullah memimpin diskusi politik, mengatur strategi sosial, dan membangun solidaritas umat. Di Indonesia, semangat itu diteruskan oleh aktivis remaja masjid yang menjadikan masjid sebagai ruang tumbuh bagi ilmu dan kepedulian.
Dari mimbar dan serambi, mereka menebar dakwah cerdas, menyalakan gerakan baca, dan memakmurkan masyarakat sekitar.
Kisah Ashabul Kahfi menjadi simbol keberanian spiritual kaum muda. Mereka memilih tidur di gua demi mempertahankan iman di tengah tirani kekuasaan. Allah menjaga mereka agar menjadi pelajaran bagi generasi sesudahnya: bahwa iman yang dijaga akan selalu dilindungi. Dalam konteks kini, “gua” itu bisa dimaknai sebagai ruang batin tempat pemuda menepi dari hiruk pikuk digital untuk menemukan arah hidup. Dari kesunyian lahir keteguhan iman yang menumbuhkan keberanian moral.
Secara biologis, masa muda adalah fase puncak tenaga dan daya pikir. Otak cepat belajar, tubuh penuh stamina, dan semangat mudah berkobar. Namun bila tidak diarahkan oleh nilai, energi itu dapat berubah menjadi kesombongan. Karena itu, pendidikan iman menjadi kebutuhan dasar generasi muda. Iman membimbing ambisi agar tidak liar, menuntun semangat agar berpihak pada kebaikan. Tubuh yang kuat hanya bermakna jika disertai hati yang lembut.
Pemuda sejati bukan hanya pencari sensasi, melainkan pencipta solusi. Mereka mampu menjawab tantangan zaman dengan semangat kerja dan ketulusan. Di tengah perubahan sosial dan derasnya arus global, pemuda perlu hadir sebagai jembatan antara tradisi dan kemajuan. Mereka menjaga nilai agama, tetapi juga menguasai teknologi. Mereka berzikir dalam kesunyian, tetapi berpikir dalam keramaian.
Nabi Musa AS memberi teladan keberanian menentang tirani. Dalam usia muda, ia berdiri di hadapan Fir’aun, membela kebenaran tanpa gentar. Musa mengajarkan bahwa iman harus melahirkan keberanian sosial. Pemuda yang meneladani Musa bukan hanya pandai berbicara, tetapi juga berani membela yang lemah dan menolak ketidakadilan. Keberanian moral seperti inilah yang dibutuhkan Indonesia hari ini.
Nabi Yusuf AS menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual dapat melahirkan kebijakan ekonomi berkeadilan. Ketika Mesir menghadapi krisis pangan, Yusuf muda menata perencanaan yang menyelamatkan rakyatnya. Ia mengajarkan bahwa ekonomi tidak boleh rakus, dan kekayaan harus berpihak pada kemaslahatan. Pemuda religius progresif meneladani Yusuf dengan membangun ekonomi hijau, koperasi syariah, dan wirausaha sosial yang berkeadilan dan ramah lingkungan.
Nabi Muhammad SAW menjadi teladan kecerdasan dan kejujuran sejak muda. Dikenal sebagai Al-Amin, beliau memimpin perubahan dengan ilmu dan integritas. Wahyu pertama, “Iqra”—bacalah—menjadi perintah abadi bagi pemuda untuk mencerdaskan diri dan masyarakat. Gerakan literasi, riset, dan dakwah digital yang digerakkan remaja masjid hari ini sejatinya meneruskan jejak Nabi dalam membangun peradaban ilmu.
Dalam ruang sosial, pemuda adalah penggerak solidaritas. Mereka menjadi relawan, pembimbing yatim, pejuang sedekah, dan pelindung lingkungan. Aktivis remaja masjid turun ke lapangan bukan untuk mencari popularitas, tetapi untuk menebar manfaat. Mereka tahu bahwa iman tanpa amal hanyalah angan, dan kerja sosial adalah bentuk zikir yang hidup.
Budaya juga menjadi ruang ekspresi pemuda yang religius progresif. Mereka menyalakan dakwah lewat musik, sastra, film, dan teknologi dengan cara yang indah dan santun. Mereka tidak memusuhi budaya, tetapi menyaringnya dengan akhlak. Dengan kreativitas, mereka menjadikan seni sebagai jembatan kasih dan dakwah, menghadirkan wajah Islam yang ramah dan cerdas.
Dari sisi politik dan kepemimpinan, pemuda tidak boleh menjauh. Namun politik yang mereka bangun bukan perebutan kursi, melainkan perjuangan nilai. Mereka belajar dari Musa yang menegakkan keadilan, dari Yusuf yang menata ekonomi, dan dari Muhammad yang mencerdaskan umat. Politik yang berlandaskan iman adalah politik yang mempersatukan, bukan memecah-belah.
Secara ideologis, pemuda religius progresif adalah benteng nilai bangsa. Mereka memastikan Pancasila, UUD 1945, dan ajaran agama berjalan seiring, bukan saling meniadakan. Mereka menolak ekstremisme dan hedonisme, karena keduanya mematikan nurani. Mereka menegakkan nasionalisme yang bersumber dari iman, serta iman yang meneguhkan cinta tanah air. Di tangan mereka, semangat 28 Oktober menemukan makna baru: membangun Indonesia yang beradab, berilmu, dan beriman.
Rindu kami pada pemuda seperti itu — yang berani seperti Musa, bijak seperti Yusuf, dan cerdas seperti Muhammad. Yang memakmurkan masjid sekaligus mencerdaskan bangsa. Yang membaca Al-Qur’an dan realitas dengan kesungguhan yang sama. Merekalah pemuda pelopor religius progresif, generasi yang menyatukan zikir dan pikir, iman dan ilmu, sujud dan kerja.*


























