Menyoal Guru Spiritual

23

KATAWAY.CO.ID – Saat sarapan, sebelum berangkat ke Sekolah, iseng saya nyetel televisi. Begitu TV menyala, lagi-lagi acara infotainment menayangkan perberitaan Gatot Brajamusti tokoh yang oleh kalangan artis sempat disebut-sebut sebagai guru spiritual yang kini tengah terbelit kasus gara-gara kedapatan menyimpan “barang haram”— menurut pengakuan Gatot makanan bangsa jin—di rumahnya, juga mengawetkan beberapa satwa langka yang dilindungi negara, sehingga terancam kurungan penjara. Beberapa komentar pun bermunculan, baik dari mantan pengikutnya, hingga beberapa tokoh agama. Terakhir dilaporkan oleh beberapa korban, Gatot pernah melakukan tindak asusila.

Di tengah nestapa spiritual kehidupan masyarakat modern khususnya kalangan selebritis, kehadiran guru spiritual memang seolah menjadi candu. Saat terpaan stress yang meningkat, guru spiritual-lah yang mereka cari. Tentu kita masih ingat perempuan perangkai bunga kering yang mengaku mendapat bisikan malaikat Jibril sehingga banyak pengikut fanatiknya seperti Lia Eden, tokoh meditasi yang merangkul semua agama seperti Anand Krisna, Eyang Subur, Syeikh Fuji, yang sempat heboh lantaran mempersunting banyak istri. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh “aneh” yang menuai kontroversi.

Kasus Gatot seakan menyadarkan kita untuk kembali berhati-hati dalam memaknai dan menjalankan ritualitas agama. Saat saya sekolah di Madrasah Aliyah, Saya sempat mengalami pengalaman spiritual lantaran terpengaruh buku-buku tasawuf yang saya baca serta secara kebetulan berjumpa dengan tetangga kontrakan—sebut saja namanya Pak Agus—yang mengaku penganut sekaligus pelaku salahsatu Tarikat tasawuf yang berpusat di Sawangan-Bogor yang tak perlu saya jelaskan secara detail di sini. Dari Pak Agus inilah, Saya sedikit tahu apa dan bagaimana guru spiritual atau yang ia sebut sebagai mursyid.

Entah mengapa pengalaman-pengalaman “ajaib” para tokoh sufi yang ditulis oleh Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Tasawuf di Dunia Islam begitu mempengaruhi saya saat Aliyah. Buku tersebut menghipnotis Saya, sehingga Saya menjadi rajin puasa, tergetar jika mendengar panggilan adzan, dan buru-buru ke masjid, hampir setiap jam satu malam pergi shalat dan i’tikaf berzikir di masjid dalam posisi gelap dan mendapat kenikmatan batin yang sulit digambarkan, Saya begitu takut bertemu dan berjumpa dengan lawan jenis, Saya menjadi penyendiri, bicara seperlunya, dan hanya keluar kamar saat hendak makan, shalat, dan pergi ke sekolah, atau sesekali pergi ke toko buku.

Rupanya laku ritual individual saya diperhatikan oleh Pak Agus. Pelan-pelan Ia mendekati Saya dengan menuturkan banyak cerita tentang keistimewaan guru spiritualnya yang maqom spiritualnya menurutnya sudah Sayyidi Syaikh (setingkat di atas Syaikh). Guru spiritual yang ia sebut dengan istilah Mursyid ini banyak menunjukkan hal-hal supranatural.

Semisal; pernah menghidupkan orang mati dengan mencegat perjalanan malaikat maut agar mengembalikan ruh orang yang telah dicabut nyawanya, mengembalikan perlengkapan senjata yang hilang di gudang persenjataan negara dalam sekejap mata, mengubah air biasa menjadi bensin saat di perjalanan kendaraan yang dibawanya kehabisan bahan bakar, meredakan efek letusan Gunung Galunggung dengan memercikkan air yang telah diisi dengan kalimat-kalimat Allah, bahkan konon mewarisi tongkat yang pernah dipakai membelah laut oleh Nabi Musa. Hanya itu yang masih saya ingat, diantara sekian banyak cerita luarbiasa yang Pak Agus tuturkan akan keistimewaan guru spiritualnya. Untuk lebih meyakinkan saya, bahkan Pak Agus menunjukkan fotocopy bukti-bukti semacam piagam penghargaan dari negara, serta dialog-dialog guru spiritualnya (yang bergelar Prof Dr di bidang metafisika) dengan Bung Karno.

Sayang, saya tidak sempat tergiur berbai’at memasuki tarikatnya mengikuti prosesi suluk di daerah Sawangan-Bogor. Sehingga hanya tahu sebatas apa yang diceritakan oleh Pak Agus. Saya tidak tahu apakah cara Gatot Brajamusti merekrut pengikutnya dengan cara serupa atau bagaimana, yang terkesan terlalu mengkultusindividukan sang mursyid atau guru spiritual, yang jelas saya lebih sepakat dengan pernyataan sikap tokoh spiritual multi peran seperti Cak Nun, yang alihalih menikmati pengkultusindividuan para pengikut atau jamaahnya yang begitu setia dan menghormatinya, Ia justru sangat keras menolaknya.

Ia tak mau menjadi makelar penghalang cinta segitiga antara kita, Allah, dan Rasulnya. Bahkan pernah di suatu forum Maiyah, Ia sempat hendak melorotkan celananya agar jamaah mengerti bahwa Ia orang biasa dan tak perlu dikultusindividukan dengan kesetiaan membabibuta. Cak Nun kerap berpesan agar setiap individu berdaulat menjadi diri sendiri di hadapan Allah dan Rasulallah.

Istilah guru spiritual kini memang mudah diselewengkan untuk kepentingan individu. Dengan sedikit menghafal teks-teks agama serta pembawaan psikologis yang menentramkan, iming-iming garansi kepemilikan kavling di surga, orang-orang yang tengah mengalami kehampaan spiritual akan dengan mudah tergiur menjadi pengikutnya dengan kesetiaan membabibuta tanpa reserve. Akibatnya, apapun yang menjadi perintah atau permintaan sang guru spiritual diyakini sebagai perpanjangan perintah Tuhan yang haram untuk di langgar.

Para pengikutnya mesti samii’na wa atho’na (mendengar dan mentaati) apapun yang menjadi permintaan sang guru spiritual. Tak jarang bahkan konon ada yang hingga rela menyerahkan istrinya untuk dinikahi oleh nafsu bejat oknum yang mengaku sebagai guru spiritual yang dipatuhinya. Saya tentu tidak menyalahkan pengikut guru spiritual, itu hak prerogratif individu masing-masing, kita pun tidak berhak saling menyalahkafirkan. Siapa yang menempuh jalan lurus dan menyimpang hanya Allah-lah satu-satunya penilai paling objektif.

Memiliki guru spiritual memang baik dan diperlukan, selama itu tidak mengikat kita dengan kepatuhan membabibuta tanpa reserve. Kita mesti berpatokan standar, bahwa tiada lagi teladan yang layak kita ikuti selain kanjeng Nabi Muhammad SAW, siapa pun yang mem- bimbing kita setelah Kanjeng Nabi adalah juga insan biasa yang tidak boleh kebal dari kritik pengikutnya. Jika orang yang mendaulat diri sebagai guru spiritual lantas membai’at kita agar manut total kepadanya, jangan mau percaya. Hal ini bukan berarti kita lantas jumawa sehingga tak membutuhkan andil seorang pembimbing atau guru spiritual. Bergurulah pada apapun dan siapapun. Bukankah pepatah mengatakan alam terbentang menjadi guru.

Pedagang sate yang jualan keliling hingga larut malam adalah guru spiritual kita dalam keyakinan dan kesabaran menjemput rejeki halal-Nya di tengah orang-orang yang menghalalkan segala cara demi menghamba pada materi semisal mereka yang setiap hari ngantor rapih berdasi namun senantiasa kasakkusuk berjamaah korupsi. Bergurulah pada ketahanan mental dan keikhlasan para penjual remot, pedagang batu ulekan, urung kasur, yang berjalan puluhan kilometer setiap harinya tanpa kepastian berjumpa pembeli.

Sekali lagi, jadikan segala hal atau fenomena yang kita dengar, lihat, dan rasakan menjadi guru spiritual atau perantara untuk kian mendekatkan diri kita kepada Allah. Tak ada lagi teladan yang layak kita ikuti selain kanjeng Nabi Muhammad, insan suci pilihan Tuhan yang Ia nyatakan sebagai suri teladan pamungkas atau guru spiritual hingga akhir zaman. Wallahu a’lam.


Biodata Singkat Penulis:


Anas Al Lubab merupakan esais koran lokal Banten, penyuka seni, penjual lukisan dan buku-buku. Buku terbarunya berjudul “Agama Menu Resto”. Bagi yang berminat memiliki buku keren karya Anas, bisa langsung menghubungi no WA berikut ini: 0819-1100-5799.

Soeh studio Jasa Pembuatan Website