Puisi Anna Lestari: Sepotong Bulan Merah Saga

15

SEPOTONG BULAN MERAH SAGA

Tuhan, aku datang padamu bukan untuk merayu agar sepotong bulan merah saga itu menjadi milikku

aku datang menjelma debu di lautan pasir yang tak bertepi

mengemis ampun atas gunungan dosa yang kutumpuk dalam ratusan purnama

malam menjadi ganjil

tubuh bergetar menahan gigil dan nyeri di ulu hati

ribuan pelukan tak kan mampu membuat gemuruh badai ini menjadi tenang

*

Adakah wajah-Mu di putih langit malam ini?

bolehkah sekejap saja aku menatap?

atau kan Kau biarkan jiwaku menetap?

mungkin aku akan menggelepar

seperti ikan di pantai yang tetiba kosong

sekarat dalam pusingan angin

atau gugur seperti daun kering

*

Tuhan, aku datang pada-Mu bukan untuk merayu

bawalah perasaan cinta yang kusut ini

jadilah ia seperti buih di lautan air mata penyesalan

sebab aku terlampau dungu untuk mengerti

kenapa ombak memecah tegar karang karang

tenggelamkan rindu yang berat ini, Tuhan

bagi kapal besar karam

menjadi bangkai di laut dalam

ditikam gelap dan hening paling sunyi

| Pinggang Cirarab, Oktober 2025

 

FRAGMEN KAMU

Bagian 1

Kata kata menguap dalam udara dingin

bukan dalam air mendidih yang kau biarkan kering

untuk se gelas teh dan percakapan soal rindu

aku padanya, kau pada dia

*

Kemarin angin ribut sendiri

seperti aku dan kamu tak punya jeda untuk berdamai

hanya ada pertengkaran panjang

bagai jalan menuju suatu kota

yang kita habiskan untuk menertawakan luka

lukaku saja

lukamu apa? Tak ada!

*

Kekasihmu seperti purnama yang kita tatap

di malam ke tiga belas

ranum dan manis

kau menatap, merindu

aku membaca isi kepalamu

tapi kau bilang aku salah besar

*

Kekasihku seperti angan angan masa kecil

dipatahkan kenyataan dan keasingan

dalam malam tanpa sebatang lilin pun

hanya sepi, dingin makin menusuk

*

Kau bilang kita se jiwa?

tapi tidak pernah benar benar ada aku di sana

hanya setitik iba yang kau bawa atas nama persahabatan

kau bilang kita se jiwa?

tak benar benar ada aku

dalam larik larik sajak yang coba kau tulis

setelah membaca syair syair Sapardi kesukaan kita

kau bilang kita se jiwa?

tapi satu hari kau melempar kesalmu ke langit

ke dalam diam yang hening dan aneh

menguaplah seluruh kata

tidak benar benar ada aku di sana

| Pinggang Cirarab, November 2025

 

FRAGMEN KAMU

Bagian 2

Aku sulit tidur sampai kerontang isi kepalaku

setelah pukul satu

aku diserang semua hal tentangmu

tentang 1.956 hari sejak pertemuan pertama itu

aku ingat di hari ke enam belas kau mendekat dan berbisik

“Kamu mengingatkanku pada teduh seorang kekasih.

Padanya aku teguhkan janji untuk menjemputnya

kelak dan membawanya ke pelaminan.”

kekasihmu, purnama yang ranum dan manis

*

Aku juga ingat mata cemasmu

saat hujan mulai menderas di satu jalan

kita menepi di dinding sepi

tempias dari kepala sampai ke kaki

mata cemas itu juga mengingatkanku

pada seorang penyair yang datang melamarku

di malam gerimis dengan sebait puisi

ah, kenapa kau seperti dia?

*

Aku pernah bercermin pada matamu

sepertinya ada aku di sana

apakah benar benar aku?

atau hanya bayang bayang

untuk hilangkan kesepian yang menyiksa?

*

Suatu hari nanti

bila aku menjadi asing

kata kataku menguap

dan bunga bungsu zinnia

tak lagi ada di depan rumahku

itulah saat aku pamit

ingat lagu yang kukirim tempo hari?

dengarkan saja lagunya

tak usah tanya mengapa

| Pinggang Cirarab, November 2025

 

RUANG RAHASIA

Aku menemukannya di ruang rahasia

dibangun dari air mata yang mengkristal

ia berdiri, menatap seperti telah lama menetap

mungkin dia datang dari masa lalu

yang telah kutulis di bagian ke enam belas buku sejarahku?

atau ia adalah bait bait doa yang mewujud

seorang lelaki tegak seperti alif

hanya kata ‘sama’ yang terus kubaca dan kuterjemahkan dengan ragu

*

Aku menemukannya di ruang rahasia

tak kurang dari lima paragraf yang sama dalam narasi hari hari

membuat kami tercengang dan terkikik sendiri

menerka apakah aku adalah tulang rusuknya

dan ia adalah sayap bagi jiwaku yang patah?

segala terlampau indah

kami akan hidup bersama di sebuah rumah bergaya skandivia

dengan jendela besar, bercat putih dan abu cerah

lalu matahari sore berkilau di antara mata yang saling pandang

tapi badai mengamuk, rumah skandinavia hanya gambar di kertas yang koyak

oleh angin dan hujan

lalu terinjak injak kenyataan

aku dan dia tetap dipisah waktu

tanpa kata maaf atau terimakasih

tanpa tangan yang sempat terangkat untuk mengucap selamat tinggal

*

Aku menemuinya di ruang rahasia

katanya, sandinya adalah “aku takkan kemana mana”

kurapal, pintu terbuka dan ada namaku di sana

Katanya, hanya ada aku dan kamu

saling diam dalam dunia yang tidak pernah

benar benar membutuhkan banyak suara

aku duduk di ruang sunyi itu

-mencoba mengetuk bagian terdalam dirimu

yang terlupakan dan mengisi sepi-

nyaman bukan?

sayangnya, aku merasakan nyaman yang sama.

*

Nanti di ruang rahasia itu pula

aku akan mengulang kalimatnya dalam sebuah surat

“Jika suatu hari nanti, perjalanan kita harus berakhir

di batas takdir yang tak bisa aku lawan,

aku ingin kamu tahu : kamu pernah menjadi keheningan

paling indah dalam hidupku.”

| Pinggang Cirarab, November 2025

 

SEBUAH PESAN

Hujan tak mesti menunggu kita menepi untuk reda

cinta juga tak mesti menunggu kita tua untuk hilang

menunggu dalam cinta yang tak berkesudahan

adalah perjalanan penuh kecamuk badai di tengah laut

bukan laut yang salah

tapi kita yang terlampau berani berlayar

tanpa tahu rasi bintang dan ramalan cuaca

| Pinggang Cirarab November 2025

 

PROFIL PENULIS

Anna Lestari, alumni Majelis Puisi Rumah Dunia Tahun 2012. Ibu rumah tangga, homeschooler, dan perintis komunitas literasi Tepian Literate Club. Anna menetap di pinggang sungai Cirarab dan menikmati waktu luang dengan membaca buku dan menghandel Kelas Kreasita. Bisa dikontak di ig @cerita.ibukika

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Soeh studio Jasa Pembuatan Website