KATAWAY.CO.ID – “Sebagai orangtua saya sudah cuapek pak, diomongin hingga berbusa, dipukulin sudah, tetap saja anak sekarang ndableg susah diatur.” Sering saya sebagai guru Bimbingan Konseling mendengar keluhan serupa dari orangtua siswa setiap kali diundang ke sekolah untuk memusyawarahkan solusi bagi keberlangsungan sekolah anaknya yang terlalu banyak alfa karena berbagai alasan.
Rata-rata problem dari orangtua yang mengeluhkan prilaku anaknya tersebut dikarenakan terlalu sibuk bekerja mengejar karier, dan yang lebih banyak lagi karena himpitan ekonomi. Sementara anaknya dibiarkan berkehidupan sosial sendiri tanpa adanya kehadiran peran keluarga dalam memberikan suplai kasihsayang. Orangtua seperti ini tak lebih bak mesin ATM yang hanya mengeluarkan uang tak peduli siapa yang mengambilnya dan tak pernah tahu uang tersebut dibelanjakan untuk apa.
Kini anak-anak kita banyak yang terlantar “tak punya orangtua”. Banyak orangtua yang menyangka dengan memasukkan anak-anaknya ke sekolah, madrasah, ruang bimbel, lembaga-lembaga kursus berarti wis lunas kewajibannya dalam menjamin pendidikan bagi anak-anaknya. Mereka terlalu mempercayakan proses pen- didikan yang sebentar di ruang-ruang kelas, mereka lupa bahwa waktu anak-anak di rumah bersama keluarga durasinya jauh lebih lama ketimbang di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya.
Memang, ketika kita dititipi Tuhan mengasuh dan membersamai anak terlalu berat beban yang mesti kita pikul. Sebagian besar kita ge-er menyangka yang dibutuhkan anak-anak kita hanya makan, minum, ber- pakaian, dan bertempat tinggal. Hanya empat hal itu doang yang kita resahkan jika tidak bisa kita penuhi. Kita terbiasa melupakan bagaimana pola pengasuhan. Misalnya, Bagaimana mempengaruhi potensi akal anak. Menanamkan mulianya berbakti kepada kedua orang- tua. Memberlakukan hukuman bersifat edukatif. Membentuk kepribadian anak. Membiasakan aktivitas ibadah. Melatih jiwa sosial anak. Menggembleng akhlak anak. Mengolah perasaan anak. Melatih jasmani anak. Menanamkan cinta ilmu pengetahuan. Menjaga kesehatan. Mengarahkan kecendrungan seksual. Dan sebagainya dan seterusnya yang terlalu panjang jika kita uraikan di sini.
Jika seideal itu cara kita mesti membersamai anak, mungkin kita akan berpikir dua sampai puluhan kali jika ingin memperbanyak keturunan. Apalagi kini kita tiba di halte zaman yang gemerlap dengan teknologi serba cepat dan canggih nggak karu-karuan. Sialnya daya tangkap anak-anak kita dalam menghadapi per- cepatan zaman selalu selangkah lebih cepat ketimbang kita selaku orangtuanya. Apakah itu medsos, game, aplikasi-aplikasi terbaru teknologi, dan percepatan perkembangan teknologi lainnya.
Apakah orangtua mesti lebih pintar dari anaknya, mungkin iya mungkin juga tidak, tergantung konteksnya. Yang jelas orangtua punya hak asuh untuk mengarahkan dan menjaga tumbuh kembang anaknya. Setelah diamanahi satu orang putri, saya kerap memperhatikan perkembangan anak-anak yang saya jumpai diberbagai kesempatan.
Saya saksikan seorang anak belum genap usia 2 tahun yang masih membutuhkan peran ibunya setiap hari seharian mesti diasuh oleh ayahnya sendirian tanpa kehadiran seorang ibu lantaran ibunya berangkat bekerja ke pabrik setiap hari dan baru pulang menjelang petang.
Ada anak lain yang tidak bisa lepas selalu ngedengkot di ketek kedua orangtuanya karena dari kecil keseringan digendong jarang dilepas berbaur dengan anak-anak sebaya.
Ada pula anak yang tak berani sekadar menginjak tanah dengan kaki telanjang lantaran kedua orangtuanya terlalu protektif dan higienis.
Ada juga anak yang seharian sibuk di depan gadget kecanduan game lantaran dimimitian (dimulai) oleh orangtuanya yang nampaknya kecapekan meladeni energi besar anaknya sehingga dengan sengaja memberikan game di gadget biar anaknya anteung (diam duduk manis) dan orangtuanya bisa sedikit santai.
Jika saya pergi ke warnet apalagi di hari libur, bisa dipastikan selalu menjumpai lebih banyak anak-anak kecil usia sekolah SD atau SMP yang bermain game online, lantaran mungkin tak ada yang mengajak mereka bermain di rumah.
Namun ada pula tiga anak kecil yang saya saksikan begitu mandiri lantaran kedua orangtuanya sibuk berjualan batagor. Ketiga anak ini selalu terlihat begitu kompak, menyapu, ngepel, mencuci baju bergantian dan saling menjaga antar saudara, yang agak besar momong yang paling kecil. Jika sedang tak ada air anak-anak kecil ini dengan inisiatif sendiri akan bahu membahu mengangkut air tanpa menunggu perintah orangtuanya.
Ada pula anak SMK yang mengaku harus bekerja jadi tukang cuci steam mobil bus di terminal setiap hari sepulang sekolah demi membiayai sekolahnya sendiri, lantaran keterbatasan ekonomi kedua orangtuanya yang tidak memungkinkan memodali uang sekolahnya.
Upaya apapun yang kita lakukan untuk tumbuh kembang anak memang tidak secara otomatis akan membentuk kepribadian anak sebagaimana yang kita harapkan, lantaran Tuhan sendiri punya rencana terhadap anak-anak kita. Namun, kita mesti yakin bahwa hukum kausalitas belum berubah. Kita hanya akan memetik buah sebagaimana benih yang kita tanam, meski terkadang buah tersebut dicuri orang terlebih dahulu sebelum kita petik. Wallahu a’lam. (*)
Biodata Singkat Penulis:

Anas Al Lubab merupakan esais koran lokal Banten, penyuka seni, penjual lukisan dan buku-buku. Buku terbarunya berjudul “Agama Menu Resto”. Bagi yang berminat memiliki buku keren karya Anas, bisa langsung menghubungi no WA berikut ini: 0819-1100-5799.


























