Wahai Guru Honorer Bangkitlah!

23

Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Dekan FKIP UNTIRTA

“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Begitulah bunyi Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kalimat ini menjadi mantra kebanggaan para pejabat di setiap peringatan Hari Pendidikan Nasional. Namun di balik keagungan redaksinya, tersimpan ironi yang menggigit: pemerintah yang diwajibkan membiayai justru sering lalai memenuhi kewajibannya.

Pasal itu indah di teks konstitusi, tapi getir di ruang kelas. Di sekolah negeri, ribuan guru honorer bekerja dengan gaji di bawah UMR; sementara di sekolah swasta dan madrasah rakyat, jutaan anak bangsa belajar dengan dana dari iuran masyarakat. Satire konstitusi itu kini nyata—negara berjanji membiayai, tetapi rakyatlah yang menanggung seluruh beban pendidikan.

Kenyataannya, sistem pendidikan Indonesia hari ini lebih banyak ditopang oleh iman, tenaga, dan solidaritas masyarakat daripada oleh APBN maupun APBD. Bila negara tidak sanggup menggaji guru dan menanggung biaya pendidikan secara layak, seharusnya ia menahan diri membuka sekolah baru. Serahkan ruang tumbuh kepada masyarakat, beri insentif bagi sekolah swasta, dan hargai pengabdian guru yang berjuang di garis depan mencerdaskan bangsa tanpa perlindungan negara.

Tumbuh Tanpa Negara

Data resmi Kementrian Pendidikan Tahun Ajaran 2024/2025 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ± 439 ribu satuan pendidikan dari PAUD hingga SMA/SMK. Dari jumlah itu, lebih dari separuh dikelola oleh swasta. Artinya, sistem pendidikan nasional sesungguhnya berdiri di atas gotong royong masyarakat, bukan dominasi birokrasi negara.

Pada jenjang Sekolah Dasar (SD), memang masih didominasi negeri dengan sekitar 129.487 SD negeri dan 20.025 SD swasta. Namun keseimbangan berubah drastis di jenjang menengah. Untuk SMP terdapat sekitar 43.098 unit, di mana sekolah swasta menempati hampir setengah total. Sementara SMA terdiri atas 7.128 negeri dan 7.642 swasta—nyaris seimbang.

Kesenjangan paling tajam tampak pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dari total 14.252 SMK, hanya 3.739 negeri, sementara 10.513 atau 74% swasta. Artinya, hampir tiga perempat pendidikan vokasi di Indonesia hidup tanpa sokongan negara. Bila dihitung keseluruhan, lebih dari 60% lembaga pendidikan menengah di Indonesia bertahan berkat masyarakat, bukan pemerintah.

Hal yang lebih timpang tampak pada satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama. Di jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI) terdapat 26.830 lembaga, namun hanya 1.716 negeri. Di Madrasah Tsanawiyah (MTs) jumlahnya 19.451 unit, dengan 1.532 negeri dan 17.919 swasta. Sedangkan Madrasah Aliyah (MA) berjumlah 10.130, dengan 813 negeri dan 9.317 swasta. Artinya, lebih dari 94% madrasah di Indonesia hidup dari swadaya masyarakat dan lembaga keagamaan. Ditambah lagi, sebanyak lebih dari 38.000 Pesantren, seluruhnya swasta. Fakta ini menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia bertumpu pada masyarakat, bukan birokrasi.

Dua Wajah Guru Indonesia

Di negeri ini, wajah guru terbagi dua. Di satu sisi, guru ASN di sekolah negeri menerima gaji tetap, tunjangan reguler, dan kepastian karier. Di sisi lain, guru honorer di sekolah negeri hidup dalam ketidakpastian: digaji jauh di bawah UMR, tidak memiliki jaminan sosial memadai, dan harus menunggu keputusan pemerintah daerah untuk pengangkatan. Status PPPK, yang seharusnya menjadi jalur resmi pengakuan profesional, sering dipolitisasi; keputusan pengangkatan bisa dihapus atau ditunda sesuka hati pejabat daerah, membuat guru honorer bergantung pada arbitrase politik lokal.

Sementara itu, guru swasta dan madrasah rakyat bekerja tanpa pamrih. Mereka mengajar bukan karena perintah negara, tetapi karena panggilan jiwa dan tanggung jawab moral. Sekolah yang dikelola ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, Al-Khairiyah, dan Hidayatullah maupun yayasan lokal di pelosok negeri membuktikan bahwa pendidikan bisa berjalan tanpa anggaran negara, hanya dengan solidaritas dan dedikasi guru.

Guru honorer yang menahan beban di sekolah negeri dan guru swasta yang menghidupi lembaga pendidikan masyarakat adalah simbol perjuangan pendidikan Indonesia. Mereka tidak menuntut kekuasaan, melainkan pengakuan moral dan keadilan profesional. Tanpa keberanian mereka, ribuan murid di pelosok akan kehilangan akses pendidikan yang layak.

Jadilah Penggerak Sekolah Masyarakat

Sejarah pendidikan Indonesia menunjukkan bahwa kekuatan rakyat selalu menjadi motor penggerak pendidikan, bahkan ketika negara belum hadir sepenuhnya. Dari Muhammadiyah, NU, Taman Siswa hingga sekolah PGRI, inisiatif masyarakat membuktikan bahwa pendidikan bisa lahir dari kesadaran kolektif dan dedikasi guru. Kini, semangat itu harus dibangkitkan kembali melalui Gerakan Sekolah Masyarakat—upaya nyata guru honorer, masyarakat, dan organisasi profesi pendidikan untuk mencerdaskan bangsa tanpa menunggu belas kasihan birokrasi.

Guru honorer perlu bergerak serentak mengakhiri harapan palsu. Gerakan ini bukan perlawanan terhadap negara. Ia adalah proyek pembebasan moral. Bila gubernur, bupati, dan wali kota lamban membayar gaji guru atau menyeimbangkan rasio guru-murid, masyarakat harus bergerak. Sekolah bisa didirikan di masjid, gereja, vihara, pura, balai desa, maupun rumah komunitas. Guru yang berdedikasi, didukung dana swadaya masyarakat dan yayasan filantropi, mampu menyalakan kembali ruang belajar yang sehat, kreatif, dan berkarakter.

Organisasi profesi guru yang berani menegur pemerintah dan kepala daerah tidak sekadar membela guru honorer, tetapi juga menyuarakan nurani bangsa, menegakkan keadilan pendidikan, dan menyalakan obor moral bagi generasi mendatang. Dengan kepemimpinan mereka, guru honorer dan masyarakat dapat membangun sekolah berbasis iman, ilmu, dan solidaritas—sekolah yang membebaskan anak bangsa dari ketergantungan birokrasi dan politik.

Kolaborasi antara guru, korporasi, dan kaum dermawan dapat menjadi kekuatan nyata. Sekolah masyarakat bukan sekadar tempat belajar, tetapi laboratorium kebajikan sosial dan pengembangan kompetensi anak bangsa. Inilah bentuk solusi mandiri dan inovatif untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan birokrasi pendidikan.

Melalui gerakan ini, guru memperoleh kembali martabatnya, murid mendapatkan haknya: pendidikan yang layak, kreatif, dan manusiawi. Guru honorer tidak lagi merasa terpinggirkan; sekolah masyarakat menjadi medan pembebasan pendidikan, tempat lahirnya generasi bangsa yang cerdas, berkarakter, dan berani berpikir mandiri.

Bangkitlah: Protes Damai

Gerakan sekolah masyarakat merupakan bentuk protes damai terhadap ketidakadilan sistem pendidikan. Organisasi profesi guru dan aliansi masyarakat peduli pendidikan harus berani menegur Presiden, Menteri Pendidikan, serta gubernur, bupati, dan wali kota yang lamban menjalankan kewajiban konstitusional. Protes ini bukan menentang negara, melainkan mengingatkan negara akan tugasnya: menjamin pendidikan yang adil, merata, dan layak bagi seluruh anak bangsa.

Aparat penegak hukum (APH) juga harus membuka mata. Jangan sampai ketidakpastian nasib guru honorer, gaji di bawah UMR, dan praktik politik daerah terkait PPPK dianggap sah secara hukum, sementara hak murid untuk belajar dengan guru kompeten diabaikan. Protes ini menegaskan bahwa pendidikan bukan sekadar laporan anggaran atau proyek birokrasi, tetapi hak asasi yang harus ditegakkan oleh negara dan masyarakat bersama.

Organisasi profesi guru yang berani menegur dan bergerak bersama masyarakat adalah simbol kebangkitan pendidikan Indonesia. Mereka menyalakan obor moral bagi anak-anak bangsa, menunjukkan bahwa pendidikan bukan monopoli negara, melainkan tanggung jawab bersama. Inilah manifestasi keberanian dan kepedulian yang membebaskan pendidikan dari ketergantungan politik dan birokrasi yang lamban.

Penutup

Gerakan Sekolah Masyarakat bukan destruksi, tetapi pencerahan dan pembebasan. Ia lahir dari keyakinan bahwa pendidikan sejati dapat berkembang tanpa menunggu izin birokrasi, asalkan ada cinta dan dedikasi guru. Dari masjid ke gereja, dari pesantren ke balai warga, pendidikan tumbuh di mana ada semangat gotong royong dan kesadaran moral.

Akhiri status guru honorer! Kini saatnya guru Indonesia berdiri tegak: bukan meminta belas kasihan, tetapi menegakkan martabat profesi, hak murid, dan masa depan bangsa. Kita tidak sedang melawan negara, melainkan menyoal ketidakadilan yang dibiarkan oleh negara. Bila anggaran tak turun, imanlah yang bangkit. Bila birokrasi lamban, rakyatlah yang bergerak cepat.

Di tangan guru-guru pembebas, bangsa ini akan kembali berdaulat dalam pendidikan—tanpa negara, tetapi tidak tanpa harapan. Anak-anak Indonesia akan belajar bukan sekadar untuk lulus ujian, tetapi untuk menjadi manusia cerdas, berkarakter, dan berani berpikir mandiri, seperti semangat guru yang menyalakan obor moral di tengah ketidakadilan.*

Soeh studio Jasa Pembuatan Website